RSS
Sampingan

Ahahahahahaha!

Tapi benerkan judul di atas. Aku rasa blogku memang jadi jablay. Lihat saja pada debu yang menumpuk itu. Iuh! Juga postingan nyasar yang belum terhapus juga.

Huft!

Aku rasa aku memang sedikit banyak pikiran (bahasanyaaaa) entah kapan mau ke warnet untuk membenahi rumah ini berhubung laptop saia tidak bisa digunakan untuk membuka wordpress.

Dan

Dan

Ah! Sudahlah. Tidur saja!

Blogku Jadi Jablay

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26 Desember 2013 inci Tak Berkategori

 
Sampingan

aaaaallllllll!

Yang di atas itu tadi lanjutan dari judul. Maunya sih nulis SIAL. Tapi karena takut dicekal, makanya dilanjutin di bawah aja.

BTW biarpun ai nggak ngerti apa hubungan by the way ma ngomong-ngomong (sial! Mulai bikin kalimat nggak mutu lagi) ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress.

ASTAGA!

Ya gitu deh. Ai cuma mau bilang kalau ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress aja.

Nokia Asha Bisa Buat Buka Akun?! Siaaaaa

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Oktober 2013 inci Tak Berkategori

 
Sampingan

aaaaallllllll!

Yang di atas itu tadi lanjutan dari judul. Maunya sih nulis SIAL. Tapi karena takut dicekal, makanya dilanjutin di bawah aja.

BTW biarpun ai nggak ngerti apa hubungan by the way ma ngomong-ngomong (sial! Mulai bikin kalimat nggak mutu lagi) ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress.

ASTAGA!

Ya gitu deh. Ai cuma mau bilang kalau ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress aja.

Nokia Asha Bisa Buat Buka Akun?! Siaaaaa

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Oktober 2013 inci Tak Berkategori

 
Sampingan

aaaaallllllll!

Yang di atas itu tadi lanjutan dari judul. Maunya sih nulis SIAL. Tapi karena takut dicekal, makanya dilanjutin di bawah aja.

BTW biarpun ai nggak ngerti apa hubungan by the way ma ngomong-ngomong (sial! Mulai bikin kalimat nggak mutu lagi) ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress.

ASTAGA!

Ya gitu deh. Ai cuma mau bilang kalau ai baru tahu kalau Nokia Asha bisa buat buka akun WordPress aja.

Nokia Asha Bisa Buat Buka Akun?! Siaaaaa

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22 Oktober 2013 inci Tak Berkategori

 

PULANG

Huah…. Sudah lama sekali blog ini tidak saya kunjungiiiii.

Maunya sih update setiap minggu, toh buku-buku di rumah juga udah minta di review. Tapi apa boleh buat? Namanya juga orang sibuk #Plak!

Ya udahlah, Terima nasib!

;(

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 2 September 2013 inci Cuap2

 

Diproteksi: My Secret: Dia Inspirasiku dan Aku Harus Membunuhnya!

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

 
Masukkan password Anda untuk melihat komentar.

Ditulis oleh pada 26 Juli 2013 inci Personal

 

SIAPA YANG JADI JUARA? (Cerpen Pertama yang Diterbitin Sekaligus Bikin Ketawa-Ketiwi)

Hihihihihihi…..

Nah Loh! Belum mulai nulis aja udah cekikikan, kan?

Haduh! Memang cerita satu ini bisa membuat siapa pun meringis nggak jelas ketika membacanya.

Nah pada nggak ngerti maksudnya, kan?

Ada yang mau ngerti?

Oh, nggak ada? Ya udah! *PLAK! (hoi! jangan nimpuk dong!)

Oke-oke! Dengan terpaksa aku harus membeberkan hal ini. (padahal nggak ada yang maksa, kan?)

Jadi, cerpen Siapa Yang Jadi Juara ini cerpen pertamaku yang dimuat di majalah, majalahnya Teen (tau, kan?). Waktu itu pertama buat cerpen ini kelas satu SMP, dimuatnya tahun berapa aku lupa.

Yah… Karena cerpen ini dulu dibuat oleh penulis cilik yang lagi kesengsem sama seorang laki-laki, ditabah udah sering di racuni sama serial cantik, jadi harap dimaklumi aja kalo ceritanya agak-agak (wong penulisnya aja sampe cengar-cengir pas baca!)

Tapi jangan salah! Biar pun agak-agak, cerpen ini jadi salah satu cerpen kesayanganku. Bukan karena ceritanya. Bukan sama sekali! Aku sayang pada cerpen ini karena kenangan bagaimana dulu susahnya aku mengirim cerpen ini. Pokoknya nggak kebayang! (dulu aku nggak ngerti komputer sama sekali, orang megang aja nggak pernah, jadi nggak usah diceritain aja udah bisa bayangin, kan?)

Nah, yang mau aku tulis di sini adalah versi revisinya, soalnya yang asli malah lebih ancur. Dulu pas mau di muat, redaksinya minta revisian yang lebih rapi (ketikannya), tapi sayangnya versi revisiannya nggak pernah sampai ke redaksinya. Huhuhu… Poor me (waktu itu revisian minta dikirim lewat email, udah aku kirim sih, tapi karena waktu itu pertama kalinya makai email, kayaknya ada yang salah sehingga emailku nggak masuk. Padahal waktu itu aku bela-belain ke warnet dengan keadaan yang mengenaskan. —- aku punya sakit asma dan waktu itu lagi kambuh)

Yah…. Pokoknya gitu deh. Jadi pengen nangis… Hiks!

Jadi, sementara aku nangis sambil bernostalgia, kalian silahkan baca cerpennya.

HIKS….

***

Duaarrr!!!…

Lagi-lagi suara gemelegar sang raja listrik memenuhi sudut-sudut pendengaran,
menggetarkan gendang telinga dan merambat hingga ke jantung, rasanya persis
sekali seperti mendengar omelan bunda yang mencoba memojokkanku atas segala
kebodohan yang telah aku perbuat.

Sekolah semakin sepi, yang terlihat hanyalah rintik-rintik hujan yang mengalir
jatuh dari pori-pori awan kelabu dan beberapa siswa les MTK yang masih bertahan
dari udara dingin bercampur dengan uap air. Beginilah nasip para anak ceroboh di setiap musim penghujan, terjebak di antara hujan yang terus turun dengan alasan
yang sama yaitu “lupa bawa payung” (liat aja film-film remaja, kalau ada cewek
yang berteduh terus ditanya sama cowok ganteng pasti jawabnya: soalnya lupa bawa payung, sih).

“Wahai petirku yang manis walau manisan daku. Aku mohon berhentilah berbunyi
karena bunyimu membuatku teringat oleh omelan bundaku, sumpah itu mengganggu
banget!” gumam panjangku yang langsung disambut hangat oleh sang raja listrik
ini.

Duaarrr!!!…

Entah karena refleks, rasa takut yang tiba-tiba muncul, atau karena
kedua-duanya, aku langsung angkat kaki menuju koridor kelas sebelah yang masih
dipadati oleh gerombolan siswa naas lainnya.

“Boleh gabung? Gue sendirian nih, takut.”

“Nggak! Minta aja ditemenin ama saudara-saudara lo yang masih sesuku ama dedemit itu!”

Dengan maksud berkelakar, aku langsung menyahut enteng ejekan tadi, “Gini-gini
kan gue masih sedarah sama elo. Udah deh! Sesama suku dedemit nggak usah saling
menghina!”

“Jaga tuh mulut!” jawab the unknown girl tadi sambil berlalu menembus tirai
hujan.

“Hah! Dia marah, ya?” tanyaku pada gadis lain, kali ini yang aku ajak
berinteraksi adalah Lia, si jilbaber yang sudah aku kenal baik sebelumnya.

“Au’ah! Gue mau pulang.”

“Ujan-ujanan?” tanyaku.

“Nggak, lari-larian!”

“TAPI SIAPA YANG NEMENIN GUE? HOI, LIA!” teriakku memanggil Lia yang semakin
jauh menembus tirai hujan yang berwarna transparan.

Terpaksa aku pun mengikuti langkah Lia untuk berlari menembus hujan yang dingin, keluar dari area sekolah yang benar-benar sepi.

Di ambang gerbang pemisah area sekolah dengan dunia luar, aku merasa sesuatu yang hangat menjalar ke seluruh tubuhku, mematikan rasa dingin yang sedari tadi menghujam dan menusuk kulit, membekukan sel-sel darah yang mengalir. Dia, sang cowok idola sekolah lewat di depanku, benar-benar tepat di depanku dengan payung merah yang menaunginya. Sayang, pemandangan indah itu harus dikotori dengan limbah berjalan yang akhir-akhir ini sering terlihat menempel padanya, siapa lagi kalau bukan Vera!

Candra… Sang cowok idola sekolah yang banyak digandrungi cewek-cewek, kulitnya putih seputih aspal, tinggi, keren, sayangnxa ber-IQ melesak ke dalam tanah. Keren-keren kok aneh, sih? Mau-maunya sama Vera, padahal kalau dia mau, dia bisa dapetin cewek smart seperti aku (narsir mode on).

Tanpa sepengetahuan Candra, Vera melirik ke arahku sambil menjulurkan lidahnya yang langsung kubalas dengan aksi pembuangan muka. Kurang kerjaan! Mau nyari lalat ya buat bahan makan malam? Ejekku dalam hati, sayang sekali nggak ada yang bisa dengar.

Setelah memastikan mereka benar-benar hilang dari sudut pandangan, aku langsung mencak-mencak kesal.

“Argh! Emang siapa seh gue? Sok berharap jadi Vera.”

Dengan perasaan yang masih diselimuti dengan rasa kesal, aku segera mengambil langkah seribu untuk pulang, tapi aku langsung memutar arah kaki setelah sadar bahwa sepedaku masih tertinggal di tempat parkir sekolah.

“Ugh, memalukan!”

^_^

Dulu, sebelum Vera menjadi pacar Candra dan sebelum dia menjelma menjadi Miss Pojok yang setia tanpa teman, aku, dia, Rinda, dan Fiona adalah sahabat satu geng, satu kata, dan satu kebahagiaan tanpa satu penderitaan. Kalau tidak percaya, tanya saja pada setiap penghuni EMPEDA tercinta ini: apakah di sekolah
ini ada 4 sahabat yang aneh, 3 anggotanya bulat-bulat sedangkan yang 1 kurus banget? Pasti semua menjawab: ada.

“Kenapa gue nggak bisa kayak Vera, ya?” tanyaku yang langsung dibalas dengan tatapan heran dari kedua sahabatku.

“Kenapa lo mau kayak Vera?” tanya Fiona balik dengan gaya lugunya.

“Soalnya dia populer, mudah berorganisasi dan bergaul, walau kulitnya gosong en badannya rada… Eum, kalian tahu ,kan?”

Kedua sahabatku itu mengangguk sambil menutup mulut menahan tawa.

Rinda mulai angkat bicara, “Kalo dipikir-pikir, elo lebih baik dari dia, soalnya lo adalah cewek kuat yang nggak mudah termakan rayuan dari para play boy penjahat wanita semacam Candra itu.”

Aku terdiam namun hanya sebentar sebelum menyeletuk lagi, “Sumpah! Itu kata termanis en terjenius yang pernah keluar dari mulut lo.”

Sebuah buku IPA berukuran besar mendarat dengan sukses di atas kepalaku sebelum akhirnya jatuh di lantai.

“Ngomong-ngomong, besok pembagian rapor nih. Siapa ya yang jadi juara kelas kali ini?”

“Gue mah nggak peduli. Enakan juga gini, jam kosong terus…”

“Tapi kalau soal juara lomba cerpen, kamu peduli, kan?” sindir Rinda sambil menyiku lenganku.

“Kalau itu, pastinya aku peduli.”

“Jangan lupa traktirannya ya…”

Aku tersenyum, “pasti dong, gue kan setia kawan. Ough, pasti honor gue langsung amblas.”

Kami tertawa bersamaan. Saat itulah aku melihat Vera duduk sendiri di salah satu bangku kantin, tanpa sang idola sekolah yang akhir-akhir ini sering bersamanya.

^_^

Rintik-rintik hujan mulai turun lagi, mewarnai pagi bersama kabut dan embun yang menebarkan udara dingin. Beberapa siswa yang masih mengenakan jaket masuk ke ruang-ruang kelas yang berjejer rapi. Begitu pula aku dan sahabat-sahabatku.

“Duh, gue penasaran banget siapa ya yang jadi juara kelas kali ini?” gumam Fiona berulang kali.

Tiba-tiba Vera muncul seperti jin yang keluar dari botolnya, “Ya pastinya gue lah…”

“Emang siapa seh lo? Pinteran juga gue.”

Kali ini kedua sahabatku sepakat untuk menyeretku keluar dari kancah pertempuran sebelum terjadi pertumpahan darah…. Kambing — si korban pesta sate.

Sebenarnya siapa yang akan menjadi juara kelas nantinya tidak begitu penting bagiku, tapi mengingat prestasi Vera yang terus meningkat membuatku sedikit tegang. Mungkin karena aku tidak ingin kalah lagi darinya atau mungkin karena aku mulai tidak suka padanya, kalau begini aneh rasanya mengingat dulu kami adalah sahabat baik.

Setelah mendengar nasihat panjang guru wali kelas, berdoa bersama, dan menyanyikan lagu kebangsaan (ck…ck…ck…) barulah kami menerima rapor dan mendengar nama-nama siswa yang mendapat peringkat kelas semester ini. Rasanya seperti sedang menjadi astronot yang akan terhisap lubang ruang angkasa yang menyeramkan, black hole, sumpah tegang banget! Terlebih ketika guru wali kelasku mulai membacakan nama juara kelas setelah menyatakan bahwa aku berada di peringkat kelima dan ketiga temanku yang lain mengisi juara empat, tiga, dan dua.

“Di semester pertama kelas delapan ini, yang menjadi juara kelas masih sama seperti semester-semester sebelumnya.”

Uh, ketahuan deh! Siapa lagi kalau bukan sahabat sebangkuku, Fiona yang telah menjadi juara bertahan sejak kelas satu dulu. Aku lihat banyak anak-anak yang mengempis seperti ban bocor dan terlihat kecewa dengan keputusan itu, walau begitu, mereka masih bertepuk tangan dengan semangat mengiringi langkah Fiona
untuk mengambil rapornya dari tangan guru wali kelas.

Setidaknya kali ini aku bisa bernafas lega karena Vera tidak mampu mewujudkan ambisinya. Ngomong-ngomong tentang Vera, anak itu jadi lebih sering melebur dengan sudut kelas dari pada sesumbar tentang pacar barunya seperti biasa. Memang sih dia masih sering mengejekku dan mantan sahabatnya yang lain, tapi
rasanya ada sesuatu yang aneh dan berbeda.

^_^

Hari Minggu sore sekolah masih penuh dengan anak-anak yang datang dan pergi, kali ini mereka bukannya datang untuk mengikuti les tambahan yang diwajibkan oleh sekolah, melainkan untuk ikut serta meramaikan bazar dan pentas seni yang dilaksanakan oleh anak-anak kelas tiga.

Di antara kerumunan massa yang semakin menumpuk itu, aku dan kawan-kawanku terus berjalan dan menerjang padatnya pengunjung yang datang. Rasanya sesak dan pengap, ditambah bau keringat dan parfum yang menyebar seolah ingin menambah rasa pening di kepala.

“Tahu gini gue di rumah aja tadi, nonton tv sambil tiduran,” gerutuku tiada henti.

“Udahlah. Ambil positifnya aja, setidaknya kita bisa menghabiskan waktu sore hari bersama-sama, kan?” Rinda menarikku dan Fiona untuk melihat-lihat barang di salah satu pos.

Saat itulah kami mendengar suara lembut memanggil kami diiringi isakan tangis yang samar-samar terdengar di antara kerumunan orang.

Sadar bahwa suara tadi berasal dari mulut Vera, kami segera mendekati dan menenangkannya. Satu hal aneh lagi yang terjadi pada kami, entah karena didorong oleh rasa kasihan atau apa, tiba-tiba saja kami memperlakukannya seperti sahabat, padahal kami sudah sepakat tidak akan dekat-dekat dengan gadis bermerek Vera ini lagi.

“Gue baru diputusi Candra, tiba-tiba aja dia berubah sikap sama gue setelah tahu prestasi gue menurun. Sekarang gue sadar dia cuma mau manfaatin gue, maaf ya guys karena gue nggak percaya sama kalian…”

Sebenarnya aku mau menyahut dengan kata “Rasain loe!” tapi entah karena apa dan kenapa yang keluar dari mulutku malah kata semanis ini: “Nggak apa-apa kok Ver, kita kan sahabat…”

Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, seorang cowok menghampiri kami sehingga dengan terpaksa aku harus memotong kata itu terlebih dahulu.

Candra. Sesaat aku mengira dia akan menghampiri Vera, mungkin untuk meminta maaf, tapi dugaan itu lenyap seketika ketika dia meraih tangan sahabatku yang lain. Kali ini sasarannya bukan main tanggung, sang juara bertahan dalam peringkat kelas, Fiona!

Tahu apa yang dikatakannya? Dia menyatakan rasa sukanya pada jilbaber sahabatku itu di depan banyak orang dan tentunya Vera yang kini terlihat semakin lebur.

Andai saja saat itu Fiona tidak langsung menolaknya dengan kata yang amat kejam seperti: “Lo bukan level gue!” pasti tinjuku sekarang sudah bersarang di kepala cowok narsis nggak tahu malu ini. Nyesel banget dulu aku pernah suka pada cowok ini.

Setelah menerima penolakan super sadis dari Fiona dan teriakan-teriakan ejekan dari kerumunan massa, akhirnya Candra meninggalkan kami dengan beban penyesalan di hatinya.

“Jadi yang se-level sama lo tuh yang gimana? Yang kayak Adam?” godaku padanya.

Dia menjitak kepalaku, “Setidaknya kali ini gue yang jadi juaranya karena gue yang bisa buat dia sakit hati. So, pertandingan antara kalian berdua udah selesai, kan?”

Aku menatap Vera, begitu pun sebaliknya sebelum kami mengangguk semangat.

“Lagian persaingan kayak gini nggak ada artinya. Jadi sekarang kita sahabatan lagi, kan?”

Kami bertiga mengangguk menjawab pertanyaan Vera. Dalam persahabatan memang semua tidak akan berjalan lancar, pasti akan ada tikungan-tikungan yang menyesatkan. Tapi sahabat tidak akan terpisah, kalaupun terpisah, pasti ada jalan untuk kembali bersama. Saat itu terjadi, kamu akan mengerti betapa berartinya sahabat dibanding segalanya.

“Oh, iya. Saatnya traktiran bakso, nih!” seru Rinda semangat diikuti dengan pemaksaan dari kedua sahabatku yang lain.

“Kalo lagi enak aja dibaik-baikin, kalo lagi nggak enak ditinggalin. Dasar sahabat-sahabat nggak bertanggung jawab!”

“Jadi lo mau kita tanggung jawab?” sahut Fiona, “Kalo gitu nikahi dia!”

“Ih, itu kan udah jadi trade mark-ku! Yang kreatif dong!” protesku kesal.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 21 Juli 2013 inci Cerpen, Diterbitkan

 

Tag: ,

PINDAHAN CUY!

Setelah sekian lama rumah di blogger rubuh, akhirnya daku bisa punya rumah baru……

Ini pun jiplak desain blog milik seorang teman (tapi boleh kok sama orangnya! Beneran!)

Yah…. Setelah beres-beres di sana-sini dan masukin barang-barang baru, akhirnya blog ini sudah layak huni (beri tepuk tangan buat saya! 😀 )

Setelah ini masih ada tanggungan buat mindah cerpen-cerpen di blog lama, sih. Tapi nanti aja lah. Untuk sekarang duduk-duduk dulu di kursi baca depan rumah, memandang hamparan persawahan dan gunung yang menjulang, menikmati buaian angin dengan ditamani secangkir kopi dan permainan indah dari Yanni. 😀

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 18 Juli 2013 inci Cuap2, Musik, Omah

 

Tag: ,